Fadlizon Sebut Permenaker Nomer 2 Tahun 2022 Soal Pencairan JHT Usia 56 Tahun Menzlimi Kaum Buruh

19 Februari 2022, 14:17 WIB
Foto Ilustrasi ; Fadlizon saat menghadiri Parliamentary Hearing at the United Nations. “Building Political Support and Incklusive Responses to Sustainable Recovery” baru-baru ini./ /Instagram @fadlizon

WNC – JAKARTA – Politisi Gerindra, Fadlizon menyebut adanya penzaliman kaum buruh dalam Permenaker Nomer 2 Tahun 2022, terkait pencairan dana JHT (Jaminan Hari Tua) setelah pensiun umur 56 tahun.

“Ada beberapa alasan kenapa Permenaker itu bisa dianggap telah menzalimi kaum buruh,” katanya dikutip WNC dari akun pribadinya di Instagram @fadlizon, Jumat, 18 Februari 2022.

Filosofi JHT pertama, sebenarnya adalah tabungan, yaitu agar kaum buruh masih punya tabungan saat mereka tak lagi bekerja, atau tak lagi menerima upah.

Sehingga menurut Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen DPRRI Itu, saat seseorang tak lagi menerima upah, maka ia seharusnya diperbolehkan mencairkan tabungannya.

Baca Juga: Jadi Agenda DEWG-G20, Sekjen Kominfo Ajak Media Massa Bangun Kecakapan dan Literasi Digital Masyarakat

“Nah, Permenaker No. 2 Tahun 2022 secara sepihak telah memaksa kaum buruh untuk menunda pencairan tabungan tadi hingga mencapai usia 56 tahun,” katanya.

Padahal, pemerintah sendiri tidak bisa memberi jaminan kaum buruh bisa terus bekerja dan menerima upah, atau tidak akan kehilangan pekerjaannya, hingga mencapai usia tersebut.

“Ini kan zalim ! Bagaimana jika buruh kena PHK pada usia 35 tahun, 40 tahun, atau 45 tahun, dan tidak bisa lagi masuk ke bursa kerja sektor formal, apakah harus menunggu 21 tahun, 16 tahun, atau 11 tahun hanya untuk mencairkan uangnya sendiri? Tanyanya.

Kedua, menurut Fadlizon, Pasal 2 Permenaker No. 2 Tahun 2022 itu memang memberikan opsi pencairan JHT sebelum usia 56, namun dengan syarat buruh mengalami cacat total tetap atau meninggal dunia.

Baca Juga: Persipura Jaya Pura Gagal Membendung Serangan Persib Bandung dengan Tiga Gol tanpa Balas

Dia menganggap aneh, karena JHT merupakan “asuransi sosial” bagi orang yang kehilangan pekerjaan dan penghasilan, bukan asuransi jiwa atau kecelakaan kerja.

“Masak buruh harus mengalami cacat dulu, atau mati dulu hanya untuk mencairkan tabungannya? Aturan ini selain zalim juga aneh,” katanya.

Poin ketiga kata Fadlizon, kebijakan zalim tersebut dirumuskan pemerintah tanpa konsultasi publik terlebih dahulu dengan ‘stakeholder’ terkait, terutama kaum buruh serta Komisi IX DPR RI.

“Proses perumusannya saja sudah tidak ‘fair’ dan tak terbuka, bagaimana isinya bisa ‘fair’ jika begitu?” kata Fadlizon mempertanyakan. ***

Editor: Dwi Soewanto

Sumber: Instagram @fadlizon

Tags

Terkini

Terpopuler