Masyarakat Berhak Menggugat, Indonesian Parliamentary Center Nilai UU IKN Minim Partisipasi Publik

22 Januari 2022, 07:30 WIB
Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi./ /doc. Indonesian Parliamentary Center

WNC - JAKARTA –  Indonesian Parliamentary Center menyampaikan, proses persetujuan RUU Ibu Kota Negara (IKN) menjadi undang-undang (UU), minim partisipasi publik.

Itu terjadi karena forum yang tersedia untuk masyarakat menyampaikan usulan dan kritiknya cukup sedikit dan singkat (buru-buru disahkan).

Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC), Ahmad Hanafi mengatakan, kesempatan publik  memberi masukan intensif perihal UU IKN ada pada rapat dengar pendapat umum (RDPU) yang digelar DPR RI.

Sementara pada pembahasan UU itu, rentang waktu berlangsungnya RDPU untuk mendengar masukan publik tentang UU IKN masih kurang memadai. Padahal UU itu berdampak ke berbagai sektor serta kelompok masyarakat.

Baca Juga: Film Before, Now & Then Hadir di Kancah Inernaional Festival Film Berlin, Pemerintah Beri Apresiasi

Karena perpindahan ibukota dimaksud, dari Pulau Jawa ke Kalimantan. Dan itu akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang lain.

“Bagaimana mungkin undang-undang yang berdampak pada seluruh warga negara, tetapi prosesnya begitu cepat,” kata Hanafi.

Rapat Paripurna DPR RI pada 18 Januari 2022 menyetujui RUU IKN jadi undang-undang. Artinya, pembahasan RUU jadi UU IKN hanya butuh waktu 42 hari.

Menurut Hanafi, proses persetujuan UU IKN yang relatif lebih cepat dibandingkan produk legislasi lainnya menyebabkan ragam kritik dan usulan publik tidak diterima Panitia Khusus (Pansus) RUU IKN DPR RI. Belakangan, kajian dari Walhi, kelompok hukum dan lainnya baru muncul.

Baca Juga: Kandas di Babak Ketiga Australian Open, Naomi Osaka Kubur Impian Bertemu Ashleigh Barty

“Teman-teman mungkin melihat RUU IKN baru diusulkan Desember (2021) kemudian reses. Artinya teman-teman beranggapan Januari pada awal masa sidang bisa menyampaikan hasil kajiannya. Ternyata langsung disahkan.,” tutur Hanafi.

Itu mengurangi rentang waktu yang seharusnya dibutuhkan, karena publik termasuk para pengamat, butuh waktu membuat kajian dan melihat pasal-pasal yang diusulkan.

Hanafi mendorong DPR RI ke depan mempertimbangkan kembali metode “quick legislation” atau legislasi cepat yang digunakan saat menyetujui UU IKN.

 “Quick legislastion itu proses biasa tetapi cepat. Itu saya kira perlu dikaji ulang. DPR perlu menjadikan panduan atau pelajaran berikutnya supaya jangan sampai legislasi mengabaikan hak-hak publik,” kata Hanafi.

Baca Juga: Istri Minta Ijin Nikah Lagi, Menjadi Penyebab Suami Kesal dan Nekat Menghabisi Nyawa Korban

Pembahasan suatu undang-undang terlampau cepat mengurangi partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

“Meaningful participation itu dimandatkan dalam putusan MK yang terakhir terkait (putusan uji materiil) Omnibus Law. Ada tiga hak yang harus dipenuhi secara bersamaan, yaitu hak atas informasi, hak untuk terlibat, dan hak untuk menggugat,” sebut Hanafi.

Tiga hak itu, menurut Hanafi, merupakan wujud keterlibatan publik yang harus ada dalam tiap penyusunan undang-undang, termasuk UU IKN.***

Editor: Dwi Soewanto

Sumber: ANTARA

Tags

Terkini

Terpopuler