Dosen Psikologi UNS Soroti Fenomena Spirit Doll, Boneka ini Bisa Membuat Seseorang Kehilangan Realitasnya

11 Januari 2022, 20:50 WIB
Dosen Psikologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si /WNC/uns.ac.id

WNC —  SOLO — Fenomena maraknya spirit doll atau bonek arwah masih hangat dibahas di media sosial.

Pembicaraan warganet bermula ketika seorang desainer kondang Tanah Air memperkenalkan foto dua spirit doll yang dianggap sebagai anaknya ke Instagram sejak bulan Desember lalu.

Perilaku desainer tersebut dinilai tidak biasa dan ganjil. Banyak warganet sampai heran dan ikut mengkritik.

Desainer yang diketahui masih melajang itu memperlakukan dua spirit doll-nya seperti bayi manusia sungguhan, termasuk membuatkannya akun Instagram pribadi.

Baca Juga: Marak Soal Boneka Arwah, Muhammadiyah : Secara Sains dan Ilmu Agama Mustahil serta Tak Masuk Akal

Karena perilaku desainer tersebut dinilai tidak biasa dan ganjil, banyak warganet sampai heran dan ikut mengkritik.

Dosen Psikologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Tri Rejeki Andayani, S.Psi., M.Si., menanggapi fenomena ini.

Ia mengatakan, sebenarnya memiliki boneka arwah termasuk berbentuk bayi adalah hal yang wajar asal dimanfaatkan sebagai media latihan untuk mengasuh anak.

Setidaknya dengan keberadaan spirit doll, orang-orang bisa menyiapkan diri sebelum memiliki anak sesungguhnya.

“Bagi orang dewasa, memelihara boneka arwah dan merawatnya selayaknya ‘bayi’ masih wajar. Bahkan hal itu bisa dimanfaatkan untuk media praktek bagi mahasiswa kebidanan atau keperawatan,” ujarnya seperti dikutip WNC dari uns.ac.id, Senin, 11 Januari 2022.

Ia menjelaskan, boneka apa pun bagi anak-anak termasuk spirit doll bisa menjadi sarana bermain pura-pura atau pretend play.

Pretend play yang dimaksud Andayani adalah anak yang memainkan spirit doll bisa berperan sebagai ibu atau kakak yang sedang mengasuh bayi.

Metode ini disebutnya mirip dengan mainan yang sangat viral di Indonesia pada tahun 90-an, Tamagotchi. Ada pun, Tamagotchi menuntut pemainnya untuk memelihara hewan virtual dalam sebuah konsol.

Hewan virtual yang dipelihara harus dirawat sejak dalam telur hingga dewasa, termasuk memberinya makan, memandikan, mengajak bermain, bahkan merawatnya jika sakit.

“Layaknya spirit doll yang viral belakangan ini, Tamagotchi juga dapat melatih tanggung jawab anak sebelum memelihara binatang peliharaan sungguhan,” imbuhnya.

Andayani menerangkan bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki kebutuhan akan rasa cinta dan ingin memiliki atau need for love and belongingness.

Dia mengutip pendapat pencipta teori hierarki kebutuhan, Maslow. “Hal ini mendorong seseorang untuk menjalin hubungan emosional dengan orang lain yang jika tidak terpenuhi akan memunculkan rasa kesepian,” ucap dia.

Ia juga menambahkan, sejatinya manusia memiliki dorongan untuk memelihara, merawat, dan membantu (nurturance).

Bisa jadi dengan memiliki dan memelihara spirit doll dapat menjadi media untuk menyalurkan dan melampiaskan dorongan tersebut.

“Karena pada kenyataannya, tidak semua orang siap memiliki anak, atau belum memenuhi syarat untuk mengadopsi anak. Seperti kita tahu, prosedur untuk mengadopsi anak juga tidak mudah. Selain itu, tidak hanya memerlukan kesiapan fisik, tetapi juga mental,” imbuhnya.

Sehingga, selama masa tunggu itu, spirit doll bisa menjadi alternatif untuk menyalurkan naluri pengasuhan seseorang karena risikonya lebih kecil dan relatif lebih mudah dirawat.

Walau ada sisi positif ketika merawat spirit doll, Andayani memperingatkan boneka ini bisa membuat seseorang kehilangan realitasnya.

Ia menyampaikan, pemilik sporit doll dapat terikat emosi secara berlebihan dengan dan membangun realitas sendiri yang sifatnya semu.

“Mengganggap boneka tersebut bernyawa atau ada arwahnya dan memberikan fasilitas berlebihan yang cenderung mengarah pada hal-hal yang sifatnya mubazir,” tambahnya.

Apabila hal ini benar-benar dialami seseorang, ia menyarankan agar pemilik spirit doll melibatkan bantuan profesional.

“Jika sudah demikian, ada baiknya juga lingkungan sosial segera membantu yang bersangkutan untuk kembali pada realitas yang sesungguhnya,” pungkasnya. ***

Editor: Nadhiroh

Sumber: uns.ac.id

Tags

Terkini

Terpopuler