Pentas 'Di Tepi Sejarah' Tampilkan Kisah Hidup Pelantun ‘Kebyar-Kebyar’ sekaligus Kenalkan Lagu-lagu Gombloh

- 28 April 2022, 22:09 WIB
Sosok  Wanggi Hoediyatno, pemeran almarhum Gombloh dalam teater ‘Panggil Aku Gombloh’ bagian dari seri monolog "Di Tepi Sejarah" musim kedua di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu, 27 April 2022./
Sosok Wanggi Hoediyatno, pemeran almarhum Gombloh dalam teater ‘Panggil Aku Gombloh’ bagian dari seri monolog "Di Tepi Sejarah" musim kedua di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu, 27 April 2022./ /Instagram @kawankawanmedia

WNC - JAKARTA – Episode ketiga monolog "Di Tepi Sejarah" musim kedua di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu dan Kamis, 27-28 April 2022, menghadirkan perjalanan hidup Pelantun ‘Kebyar-Kebyar’ sekaligus mengenalkan Lagu-lagu almarhum Gombloh.

Pentas Teater bertajuk "Panggil Aku Gombloh", ditampilkan dengan penonton terbatas oleh Titimangsa dan KawanKawan Media, bekerja sama dengan Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikbudristek.

Dikutip WNC dari Antara, "Panggil Aku Gombloh" disutradarai Joind Bayuwinanda dan diperankan seniman pantomim Wanggi Hoediyatno.

Episode kali ini menampilkan kisah seorang penyanyi bernama Soedjarwoto Soemarsono atau populer dengan nama Gombloh, yang populer di era 80an.

Baca Juga: Jumlah Pemudik Motor via Kalimalang Dilaporkan Mulai Mengalami Peningkatan pada H-4 Lebaran

Produser "Panggil Aku Gombloh" Pradetya Novitri mengatakan, pentas "Di Tepi Sejarah" memiliki visi memperkenalkan tokoh-tokoh yang berada di tepian atau luar pusaran sejarah Indonesia.

"(Tokohnya) termasuk Gombloh ini, mungkin banyak yang sudah tahu termasuk lagu-lagunya, tapi kisah hidupnya belum tentu banyak yang tahu," kata Pradetya saat dijumpai wartawan di Jakarta, Rabu malam.

Gombloh dikenal sebagai musisi era '70 hingga '80-an yang tampil sederhana dan jauh dari kesan glamor. Nama Gombloh melambung setelah ia menciptakan lagu "Kebyar-Kebyar".

Ia lahir di Jombang 12 Juli 1948 dan wafat di Surabaya pada 9 Januari 1988. Ketika dimakamkan di TPU Tembok Gede, masyarakat Surabaya memenuhi ruas-ruas jalan hingga menyebabkan kemacetan sepanjang lima kilometer dari kompleks pemakaman.

Baca Juga: Kejari Sukoharjo Resmikan Rumah Restorative Justice, Tempat Penyelesaian Perkara Ringan di Luar Pengadilan

Selain kisah Gombloh, Produser Yulia Evina Bhara ingin memperkenalkan karya-karyanya tentang orang-orang kecil dalam kehidupan sosial, nasionalisme atau kecintaan tanah air, serta idealisme baik dalam bermusik maupun keinginan mewujudkan dunia tanpa prostitusi.

"Kami rasa (pementasan) ini sangat kontekstual dengan hal-hal yang sedang terjadi hari ini. Ada banyak hal yang bisa kita petik dari tokoh seperti Gombloh," tutur Yulia.

Dunia tanpa prostitusi, Joind memandang cita-cita tersebut tampak absurd, tetapi Gombloh tetap mencoba walau akhirnya hanya berhasil menghilangkan prostitusi sekitar 5 persen dari 100 persen.

Menurut Joind, uang hasil konser Gombloh banyak digunakan membantu keuangan pelacur di Surabaya. Tindakan tersebut sangat mengharukan dan menyentuh.

Baca Juga: Konser Perdana Suluk Musyahadah Cinta, Gus Sastro Adi Tampil di Taman Sunan Jogo Kali Kota Solo

"Kita jarang sekali, lho, ketemu musisi yang punya pengorbanan seperti itu, dengan jelas mengatakan bahwa cita-citanya ingin membuat prostitusi itu nggak ada," ujar Joind.

Sementara itu, Wanggi mengaku "Panggil Aku Gombloh" merupakan pentas teater pertamanya sejak belasan tahun terakhir. Dia menganggap itu menjadi salah satu tantangan.

Dalam memerankan sosok Gombloh, tantangan lain Wanggi termasuk menyelaraskan visi sutradara dan asisten sutradara agar menciptakan adegan yang mumpuni.

Ia mengatakan mencoba merawat ingatan mengenai sosok Gombloh mulai dari latar belakang hidup hingga pemikirannya.

Baca Juga: Catat ya! Polda Metro Jaya Tegaskan tak ada Tilang saat Filterisasi Ganjil Genap di Tol Cikampek

"Untuk hari ini, justru pada akhirnya kita semua seperti merawat karya-karyanya (seperti) yang tadi kita dengarkan. Ide-idenya, pemikirannya," tutur Wanggi.

Dua pertunjukan "Di Tepi Sejarah" sebelumnya, yaitu "Kacamata Sjafruddin" tampil pada 14-15 April dan "Mata Kamera" pada 20-21 April di tempat yang sama.

Selain itu, "Di Tepi Sejarah" juga akan mementaskan tokoh perupa perempuan Emiria Soenassa pada Juni dan pemusik Ismail Marzuki pada Juli.

Seluruh lakon "Di Tepi Sejarah" musim kedua akan ditayangkan secara daring pada Agustus mendatang di kanal Indonesiana TV.***

Editor: Dwi Soewanto

Sumber: ANTARA


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah