Ketum FBM Desak Proses Hukum Perusakan Bekas Beteng Keraton Kartasura Jalan Terus, Abaikan Tawaran Mediasi

- 17 Mei 2022, 20:13 WIB
Ketua Umum Forum Budaya Mataram, BRM Kusumo Putro
Ketua Umum Forum Budaya Mataram, BRM Kusumo Putro /WNC/ Nanang Sapto Nugroho


WNC-SUKOHARJO- Kasus perusakan tembok bekas beteng Keraton Kartasura terus bergulir. Selain ditangani Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Provinsi Jawa Tengah (Jateng), Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukoharjo juga turun tangan.

Sejumlah saksi, baik dari pemilik lahan, Ketua RT, Lurah, Camat, pejabat dilingkungan dinas terkait, tokoh masyarakat, dan pemerhati serta pelestari cagar budaya, satu persatu diundang wawancara dan diminta pendapatnya di kantor Kejari Sukoharjo.

Dari sekian yang diundang secara marathon tersebut, salah satunya adalah Ketua Umum Forum Budaya Mataran (FBM), BRM Kusumo Putro. Ia hadir memenuhi undangan wawancara dan menyampaikan pendapatnya pada, Selasa 17 Mei 2022.

Baca Juga: Halal Bi Halal YPPP Veteran Sukoharjo, Tegaskan Sinergi Seluruh Unsur Pendidik dan Karyawan

"Kami diundang Kejari untuk wawancara dan dimintai pendapat terkait status kepemilikan tanah. Kenapa kok bisa menjadi hak milik pribadi. Kami juga dimintai pendapat dari sisi hukum tentang kasus itu, dimana saat ini sedang ditangani oleh PPNS," jelasnya.

Atas kasus perusakan tersebut, pria yang juga Ketua Umum Dewan Pemerhati dan Penyelamat Seni Budaya Indonesia (DPPSBI) ini berpendapat, jika melihat bekas bangunan itu adalah Baluwarti dan Cempuri, maka sudah jelas merupakan bekas Keraton Kartasura.

"Ini menjadi sebuah pertanyaan, ketika lahan itu bisa diterbitkan SHM (Sertifikat Hak Milik) pribadi. Contohnya, di Keraton Surakarta juga ada Baluwarti dan Cempuri, tapi tidak bisa menjadi SHM," tegasnya.

Baca Juga: Tertemper KRD Bathara Kresna dari Wonogiri, Mobil Warga Sukoharjo Ringsek Terseret Puluhan Meter

Menurut Kusumo, meskipun sekarang hanya menyisakan bangunan berupa tembok bekas beteng, namun status tanahnya sudah semestinya tidak bisa diperjualbelikan untuk dimiliki oleh pribadi. Harus tetap dilindungi.

"Tanahnya itu semisal tidak lagi dimiliki oleh keraton, mestinya diambil alih oleh negara. Dengan adanya kasus ini, maka kepemilikan tanah ini perlu ditelusuri agar ada kejelasan darimana induk asal kepemilikan tanah. Sebelum menjadi SHM, dulu berupa apa?," ujarnya.

Dari hasil penelusuran, Kusumo menyebut, bahwa produk penerbitan sertifikat atas tanah bekas Keraton Kartasura tersebut dimulai pada tahun 1975. Semula sebelum terbit sertifikat berupa surat Letter C tanah.

Baca Juga: Sinopsis John Wick 2 Tayang di Bioskop Trans TV, Kembalinya Sang Pembunuh di Dunia Kriminal

"Berarti kalau dulunya adalah Letter C, maka itu ada induknya. Apakah asalnya dari tanah negara bebas, swapraja, pemerintah daerah, atau tanah apa, kan harus jelas. Itu yang kami sampaikan supaya ditelusuri," tegas Kusumo.

Menyinggung proses hukum, ia menyampaikan saat wawancara, supaya ada tindakan tegas terhadap pelaku perusakan tanpa pengecualian. Dalam perusakan bekas beteng keraton tersebut, Kusuma mendesak harus ada tersangka yang bertanggung jawab untuk dipidanakan.

"Dalam kasus ini, pelakunya sudah jelas dan alat buktinya lengkap. Saat ini masih ditangani oleh PPNS jateng. Sesuai dengan janjinya (PPNS), maka kami minta dalam minggu ini sudah bisa dilakukan gelar perkara," kata Kusumo.

Baca Juga: Melihat Tradisi Larung Sesaji Nelayan Juwana, Wujud Syukur Pada Sang Pencipta Setelah Idulfitri

Sesuai alur, lanjutnya, setelah hasil penyelidikan PPNS itu lengkap, maka akan dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jateng, dan kemungkinan diteruskan ke Kejari Sukoharjo sebagai bahan penuntutan terhadap tersangka dalam sidang pengadilan di Sukoharjo.

"Karena ini menjadi kasus nasional, maka kami tidak setuju jika penyelesaiannya dengan cara mediasi, proses hukum harus dijalankan. Menurut kami, pemerintah daerah harus hati-hati mencermati tawaran mediasi yang disampaikan oleh kuasa hukum pemilik lahan," ucapnya.

Kusumo berharap agar kasus perusakan tembok bekas beteng Keraton Kartasura menjadi pintu masuk pemerintah untuk menegakkan wibawannya melalui Undang-Undang (UU) Cagar Budaya. Karena selama ini jika ada kasus perusakan cagar budaya hampir tidak pernah ada tindak lanjut proses hukumnya.

Baca Juga: Laka Maut Bus Pariwisata Tabrak Tiang VMS Tol di Mojokerto, Diduga Sopir Ngantuk 14 Nyawa Melayang

"Kalau dalam kasus ini tidak diterapkan secara tegas, lalu untuk apa UU Cagar Budaya itu dibuat. Disana sudah jelas disebutkan di Pasal 105, ancaman hukuman dan dendanya juga sudah jelas. Semua unsur telah terpenuhi. Kalau tidak ada niat merusak, untuk apa (pemilik lahan) mendatangkan eksavator," tandasnya.

Dengan adanya eksavator, kemuduian menyuruh operatornya untuk menjebol tembok bekas beteng keraton, maka menurut Kusumo, pemilik lahan sudah memiliki niat untuk merusak bangunan cagar budaya.

"Nanti tinggal dilihat saja bagaimana pembelaan dari kuasa hukum di pengadilan. Maka kami juga mendesak agar kasus ini segera P21. Silahkan nanti dibuktikan dipengadilan, siapa yang benar. Dalam kasus ini, negara harus hadir dan tegas, karena hasil penuntasan kasus ini sudah ditunggu oleh seluruh rakyat Indonesia," pungkasnya.***

 

Editor: Nanang Sapto Nugroho


Tags

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x