Apa Itu Stockholm Sydrome? Gejalanya Bikin Bingung

- 15 Oktober 2022, 21:12 WIB
Korban KDRT memiliki peluang terkena Stockholm Syndrome.
Korban KDRT memiliki peluang terkena Stockholm Syndrome. /Pixabay/geralt./

 

WONOGIRIUPDATE - Mungkin untuk sebagian orang Stockholm Sydrome masih asing terdengar.

Pengertian sederhana dari Stockholm Sydrome ini, respons psikologis yang terjadi ketika korban terikat dengan pelakunya.

Hubungan psikologis seperti ini akan berlangsung berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun ditahan atau dianiaya.

Posisi seorang korban, akan bersimpati pada si pelaku. Bahkan, korban berpikir mempunyai tujuan yang seiras dengan si pelaku.

Baca Juga: Tambah Berat Badan dengan Konsumsi 3 Nutrisi ini, Badan Cungkring Jadi Terisi

Berita ini dikutip dari Pikiran-Rakyat.com dalam judul "Pengertian dan Gejala Stockholm Syndrome"

Korban mulai memiliki pikiran negatif pada polisi dan pihak berwenang lainnya. Mereka mungkin membenci siapa pun yang mungkin mencoba membantu mereka melarikan diri dari situasi berbahaya yang mereka hadapi.

Belum dapat ditemukan mengapa paradoks ini terjadi.

Stockholm syndrome kemungkinan mulai terjadi sejak beberapa dekade yang lalu. Namun, baru pada 1973 sindrom ini diberi nama.


Saat itu, dua pria menyandera empat orang selama enam hari setelah perampokan bank di Stockholm, Swedia.

Setelah para sandera dibebaskan, mereka menolak untuk bersaksi melawan para penculik dan bahkan mulai mengumpulkan uang untuk pembelaan mereka.

Setelah kejadian ini, psikolog dan pakar kesehatan mental memberi istilah 'Stockholm Syndrome' untuk kondisi yang terjadi ketika para sandera (korban) mengembangkan hubungan emosional atau psikologis dengan orang-orang yang menahan mereka (pelaku).

Berikut adalah gejala stockholm syndrome dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Healthline:

1.Korban mempunyai perasaan positif pada pelaku atau orang yang menyiksa mereka

2.Korban mempunyai pikiran negatif terhadap polisi maupun pihak yang berwenang atau siapapun yang mencoba membantu mereka pergi dari pelaku. Bahkan, mereka bisa menolak untuk bekerja sama melawan pelaku.

3.Korban mulai merasakan kemanusiaan pelaku dan percaya bahwa mereka memiliki tujuan dan nilai yang sama.

Perasaan ini biasanya terjadi karena situasi emosional yang terjadi selama situasi kekerasan.

Misalnya, orang yang diculik atau disandera sering merasa terancam oleh penculiknya, tetapi mereka juga sangat bergantung pada penculiknya untuk bertahan hidup.

Jika penculik atau pelaku menunjukkan kebaikan kepada mereka, mereka mungkin mulai merasakan perasaan positif terhadap penculiknya karena "belas kasih" ini.

Contoh kasus, pada tahun 1993, Mary McElroy (25) empat pria menculiknya dengan todongan senjata. Mary juga dirantai pada sebuah dinding rumah pertanian yang ditinggalkan. Penculik meminta tebusan pada keluarga Mary.

Ketika dibebaskan, Mary menyebut nama-nama penculiknya saat persidangan. Namun, ia juga menyatakan rasa simpati pada para penculiknya.*** (Shora Syafhira Ghassani/Pikiran-Rakyat)

 

 

 

Editor: Saepul Rohman

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Terkini

x