Saat itu, dua pria menyandera empat orang selama enam hari setelah perampokan bank di Stockholm, Swedia.
Setelah para sandera dibebaskan, mereka menolak untuk bersaksi melawan para penculik dan bahkan mulai mengumpulkan uang untuk pembelaan mereka.
Setelah kejadian ini, psikolog dan pakar kesehatan mental memberi istilah 'Stockholm Syndrome' untuk kondisi yang terjadi ketika para sandera (korban) mengembangkan hubungan emosional atau psikologis dengan orang-orang yang menahan mereka (pelaku).
Berikut adalah gejala stockholm syndrome dikutip Pikiran-Rakyat.com dari Healthline:
1.Korban mempunyai perasaan positif pada pelaku atau orang yang menyiksa mereka
2.Korban mempunyai pikiran negatif terhadap polisi maupun pihak yang berwenang atau siapapun yang mencoba membantu mereka pergi dari pelaku. Bahkan, mereka bisa menolak untuk bekerja sama melawan pelaku.
3.Korban mulai merasakan kemanusiaan pelaku dan percaya bahwa mereka memiliki tujuan dan nilai yang sama.
Perasaan ini biasanya terjadi karena situasi emosional yang terjadi selama situasi kekerasan.
Misalnya, orang yang diculik atau disandera sering merasa terancam oleh penculiknya, tetapi mereka juga sangat bergantung pada penculiknya untuk bertahan hidup.
Jika penculik atau pelaku menunjukkan kebaikan kepada mereka, mereka mungkin mulai merasakan perasaan positif terhadap penculiknya karena "belas kasih" ini.